INILAH kutipan khotbah jumat Ḥaḍrat Khalīfatu'l-Masīḥ V (Ḥuḍūr) atba. tanggal 12 Juli 2013.
Khotbah jumat yang disampaikan dari masjid Baitul Futuh London, Inggris Raya ini adalah tentang Ramaḍān.
Setelah mengucap dua kalimah syahadat dan ta’awuḋ, Ḥuḍūr atba. menilawatkan ‘QS [al-Fātiḥah] 1:1—7’ dan disambung dengan tilawat ‘QS [al-Baqarah] 2:184’.
يٰأيّها الّذين اٰمنوا كتب عليكم الصّيام كما كتب على الّذين من قبلكم لعلّكم تتّقون.
Arabic » “Yā‘ayyuha'l-laẕīna āmanū kutiba ‘alaikumu'ṣ-ṣiyāmu kamā kutiba ’ala'l-laẕīna miŋqobliKum la’allaKum tattaqūn[a].
English » “O ye who believe! Fasting is prescribed for you, as it was prescribed for those before you, so that you may become righteous.
Bahasa Indonesia » “Wahai, orang-orang beriman! Telah diwajibkan atas kamu puasa sebagaimana telah diwajibkan kepada orang-orang sebelum kamu, supaya kamu menjadi orang-orang yang bertaqwa.”
Dengan karunia Allāh Ta’ālā, puasa Ramaḍān telah dimulai di Inggris sejak Kamis (11/7).
Kita sangat besyukur kepada Allāh Ta’ālā bahwa Dia telah memberi taufiq kepada kita semua untuk menunaikan kembali ibadah puasa Ramaḍān.
Pada ayat QS 2:184, Allāh Ta’ālā telah mengingatkan para mukmin kepada pentingnya puasa dan kewajibannya.
Para mukmin telah diingatkan pula bahwa jemaah para nabi yang sudah berlalu pernah diwajibkan berpuasa sebab puasa sangat penting sekali untuk meningkatkan iman dan kemajuan rohani manusia.
Sekarang kita dapat menyaksikan di dalam berbagai Agama apakah puasa mereka itu ‘masih utuh’ seperti di zaman para Nabi mereka atau—bersamaan dengan berlalunya zaman—‘telah berubah’ dari bentuk asalnya.
Namun, di setiap tempat, puasa masih tetap dipertahankan sekalipun dalam keadaan dan bentuk yang lain.
Kita dapat memperoleh keterangan tentang puasa yang diwajibkan pada zaman Ḥaḍrat Nabi Musa a.s. dan juga Hadhrat Daud a.s..
Di kalangan mereka itu masih terdapat pelaksanaan puasa, sekalipun puasa mereka itu hanya menghindari makanan yang dimasak dengan api, keadaan puasa mereka seperti itu.
Di dalam agama Kristen juga terdapat konsep puasa dan sebagian golongan agama Kristen juga melakukan puasa dengan meninggalkan makan daging, sedangkan sayuran boleh dimakan sekehendak hati.
Beberapa hari yang lalu, saya sempat melihat seorang teman Kristen yang sedang berpuasa. Teman itu duduk di samping saya dalam sebuah jamuan makan.
Saya lihat di hadapannya tidak terdapat pinggan berisi makanan sedangkan yang lain sudah siap dengan pinggannya masing-masing berisi makanan.
Ketika saya tanya kepadanya, Anda hendak makan apa? Dia jawab, saya sedang berpuasa. Demi menghormatinya saya pun diam tidak banyak bicara, namun merasa aneh juga, beliau seorang berada, seorang politisi namun beliau mengamalkan ajaran agama juga.
Tidak lama kemudian saya lihat di hadapan beliau sudah tersaji makanan berupa sayur-mayur dan juga nasi.
Saya berkata kepadanya, “Dalam keadaan puasa Anda boleh makan nasi dan sayur-mayur bukan?”
Beliau jawab, “Ya boleh! Sekarang saya akan mulai makan.”
Maka mulailah beliau makan. Kemudian di hadapan kami mulai disediakan berbagai macam makanan di atas talam-talam, di antaranya ada gulai ayam juga dan mulailah kami juga makan.
Tidak lama kemudian saya lihat ada seketul daging dalam pinggan beliau. Tanpa segan saya tanya lagi kepada beliau, “Dalam keadaan puasa, Anda boleh makan daging ayam juga?”
Sambil tertawa beliau jawab, “Ketika saya melihat pelayan-pelayan berulangkali datang di hadapan saya, menghidangkan gulai daging ayam, maka terpikir dalam hati saya, jika pelayan itu menghidangkan daging ayam itu di hadapan saya, maka sedikit banyak saya akan memakannya juga. Oleh sebab itu, sekarang saya sedang memakannya.”
Jadi, begitulah keadaan puasa pengikut agama terdahulu. Semua pada makan, ada daging ayam, lezat rasanya mereka makan.
Ketika dia menyaksikan setiap tamu di sekelilingnya sedang makan, barangkali ada dua orang pelayan sedang menghidangkan makanan, “mungkin salah seorang di antara mereka telah diminta oleh tamu di samping saya itu untuk menghidangkannnya,” atau beliau sendiri dengan akhlak penuh adab telah mengambil daging itu dari dalam talam, kemudian demi menghormati para tetamu di sekelilingnya ia pun mulai memakannya.
Jadi akhlak telah diutamakannya di atas ajaran agama, sebab hukum-hukum agama di dalam buku-buku mereka tidak diterangkan secara jelas.
Akan tetapi penjagaan kitab suci Al-Qur'ān telah dijanjikan oleh Allāh Ta’ālā sendiri dan sampai sekarang terpelihara seutuhnya.
Dan diperintahkan kepada orang-orang Mukmin bahwa puasa tidak hanya diwajibkan terhadap para nabi atau terhadap orang-orang terkemuka saja, melainkan puasa telah diwajibkan terhadap orang-orang yang beriman.
Jika Anda orang-orang yang beriman, maka puasa wajib atas diri Anda. Puasa selama satu bulan wajib atas Anda.
Anda harus berhenti makan-minum dari pagi sampai petang, agar Anda menjadi orang-orang bertaqwa.
Kalian harus berusaha meraih keriḍaan Allāh Ta’ālā dengan menunaikan puasa Ramaḍān ini. Memang, di dalam Bible terdapat perintah terhadap para Hawari (sahabat-sahabat Ḥaḍrat Nabi Isa a.s.) untuk mengamalkan puasa, bukan untuk dilihat orang (riya).
Dengan berpuasa, rohani manusia semakin meningkat. Apabila kerohanian sudah semakin maju, maka berbagai penyakit rohani akan terhindar.
Akan tetapi, di kalangan mereka (kristiani) disebabkan tumbuhnya kepercayaan kaffarah maka roh puasa yang menjadi asas taqwa itu menjadi hilang dan sama sekali punah.
Jadi, jika di dalamnya tidak ada roh taqwa, maka pentingnya keberkatan puasa pun hilang sirna.
Jika berkat-berkatnya tidak ada, maka puasa hanya tinggal nama saja atau puasa untuk mengambil nama saja.
Kemudian, mereka ingat pula kepada sayur-mayur segar atau yang direbus atau ingat kepada daging yang dimasak juga.
Sedangkan keindahan ajaran Islam atau keindahan ajaran Al-Qur‘ān Karīm yang bukan hanya memberitahu ajarannya, kewajibannya, maksud dan tujuannya; bahkan, sebagai ganjarannya, diberitahu juga kabar gembira tentang nikmat-nikmatnya.
Dan untuk mempertahankan agar ajaran Islam tetap hidup, untuk menegakkan amalan-amalan nyatanya, setiap abad Allāh Ta’ālā menurunkan para mujaddid-Nya serta para wali.
Dan mujaddid untuk zaman ini, Allāh Ta’ālā telah mengutus Ḥaḍrat Mirzā Ghulām Aḥmad a.s. sebagai Imām Mahdī-dan-Masīḥ Mau’ūd a.s. yang menyediakan sarana-sarana untuk menghidupkan kembali spirit ajaran-ajaran Islam seperti keadaan aslinya yang sejati bagi umat Islam sendiri dan pula bagi ghair muslim bahkan bagi segenap umat manusia.
Beliau a.s. telah berulang kali memberi nasihat kepada jalan taqwa berasaskan ajaran Al-Qur‘ān Karīm. Beliau telah mengingatkan kita untuk memahami ruh atau intisari puasa.
ḤAḌRAT Imam Mahdi-dan-Masih Mau’ud a.s. bersabda: “Rukun Islam yang ketiga adalah Puasa. Manusia juga banyak yang tidak mengenal hakikat puasa.
“Puasa bukan hanya sekedar menahan lapar dan dahaga. Melainkan puasa mempunyai hakikat dan kesan-kesan yang indah yang dapat diketahui dari pengalaman.
“Merupakan fitrat manusia bahwa semakin mengurangi makan-minum keadaan ruhnya akan semakin suci-bersih dan kemampuan kasyafnya semakin meningkat.
“Allāh Ta’ālā menghendaki agar manusia mengurangi makanan bagi jasmani dan meningkatkan santapan lainnya bagi ruhani.
“Orang berpuasa harus ingat bahwa puasa bukan sekedar menahan lapar dan dahaga. Melainkan ia harus sibuk dengan zikir kepada Allāh Ta’ālā agar ia dapat meraih inqitā‘ dan tabattal yakni fanāfi'l-Lāh dan menjalin hubungan erat dengan Allāh Ta’ālā.
“Jadi maksud dan tujuan dari puasa adalah agar manusia dengan meninggalkan makanan yang hanya memberi kekuatan terhadap badan dan memperoleh makanan jenis lain yang menjadi sumber kepuasan dan ketenangan bagi roh manusia.
“Dan orang yang berpuasa hanya karena Allāh Ta’ālā, bukan sebagai adat kebiasaan, haruslah dia banyak-banyak memuji Allāh Ta’la dengan mengucap «Alḥamdu li'l-Lāh», melafaẕkan tasbih «Subḥāna'l-Lāh», dan melantunkan tahlil yakni «Lā ilāha illa'l-Lāh», sebagai santapan rohani baginya.” (Malfūẓat Jilid IX, hal. 122 – 123)
DALAM nasihat ini, Ḥaḍrat Masīḥ Mau’ūd a.s. bersabda bahwa semakin banyak manusia mengurangi makanan atau menahan lapar semakin banyak kesucian ruhani akan dia peroleh.
Sehingga timbullah pikiran bahwa menahan lapar adalah sarana untuk mensucikan nafs atau jiwa.
Selanjutnya dijelaskan oleh beliau bahwa menahan lapar bukanlah sarana untuk mensucikan nafs dan tidak pula dengan itu maksud puasa dapat terpenuhi.
Hal itu bertentangan dengan firman Allāh Ta’ālā dalam Al-Qur‘ān. Sebab, maksud dan tujuan puasa adalah untuk meraih taqwa.
Sebagaimana beliau telah bersabda, “Jika puasa dilakukan untuk meraih keriḍaan Allāh Ta’ālā’, maka manusia harus melewatkan semua waktunya selama berpuasa untuk berzikir kepada Allāh Ta’ālā.”
Di tempat lain Ḥaḍrat Masīḥ Mau’ūd a.s. bersabda, “Dengan meninggalkan lapar, orang-orang bertapa juga dapat memperoleh kasyaf, tapi hal itu bukan tujuan orang mukmin.
“Akan tetapi tujuan orang Mukmin adalah inqitā‘ dan tabattal yakni memutuskan hubungan dengan urusan duniawi dan mempererat hubungan dengan Allāh Ta’ālā.
“Dan keadaan demikian dapat tercipta melalui ibadah dan melalui zikir Ilahi. Dan ṣalāt adalah sarana yang terbaik untuk itu, yang memberi kesan hidup terhadap ruh manusia dan menjadi sarana untuk mendekatkan diri kepada Allāh Ta’ālā.”
Jadi, puasa yang sesungguhnya adalah dengan mengurangi makan-minum, menjauhkan diri untuk sementara waktu dari barang-barang yang halal sekalipun, demi meraih keriḍaan Allāh Ta’ālā.
Itulah yang disebut taqwa dan menjauhkan diri dari barang-barang seperti itu, tidak melewatkan waktu hanya untuk kegiatan duniawi, melainkan menaruh perhatian penuh terhadap kewajiban ṣalāt dan ẕikir Ilahi.
Jika sebelumnya seseorang sudah terbiasa dengan menjamak atau kadangkala mengqaḍa ṣalātnya, maka khusus pada hari-hari puasa ini, perhatian dia lebih dahulu harus ditujukan terhadap ibadah dan ẕikir Ilahi dari semua pekerjaan yang lain.
Beliau a.s. bersabda, “Pusatkanlah perhatian terhadap memuji Allāh Ta’ālā’ dan apabila kita mengucapkan «Alḥamdu li'l-Lāh (segala puji bagi Allāh)», mulut jangan mengucapkannya hanya sebagai adat kebiasaan saja, melainkan harus dengan penuh rasa kesadaran bahwa pujian itu khusus diucapkan terhadap Rabbi Jalīl, Tuhan Yang Maha Gagahperkasa.”
Kita semata-mata memuji Allāh Ta’ālā Yang kepada-Nyalah kita semua akan kembali dan Yang memberi petunjuk jalan lurus kepada manusia yang sesat.
Jika sepanjang tahun kita tidak merundukkan kepala seperti itu, di hadapan Allāh Ta’ālā, yang merupakan hak-Nya, maka semoga di dalam bulan suci Ramaḍān ini, Dia memberi hidayah kepada kita agar di masa mendatang terhindar dari kesesatan, dan dengan limpahan barkat dari ucapan ḥamd (pujian) kita dapat memperoleh taqwa kepada Allāh Ta’ālā.
Beliau a.s. juga telah memberi bimbingan kepada kita bahwa di waktu kita sibuk dalam memuji-Nya, harus menyadari sepenuhnya bahwa setiap kehormatan ada pada tangan Tuhan.
Maka, di dalam bulan Ramaḍān ini, kita harus berdoa agar Allāh Ta’ālā memberi taufiq untuk melakukan amal-amal saleh yang membawa kita lebih dekat dengan Allāh Ta’ālā dan jangan sampai kita tunduk kepada kehormatan dan kebanggan duniawi.
Sambil memuji Allāh Ta’ālā, kita harus selalu ingat bahwa tumpuan dan harapan kita harus kepada Allāh Ta’ālā, jangan bertumpu kepada suatu kekuatan dunia.
Beliau a.s. bersabda: Di dalam bulan Ramaḍān ini, perhatian kita harus tercurah sepenuhnya terhadap tasbih.
Hanya dengan mengucap “Subḥana'l-Lāh!” saja tidaklah cukup. Melainkan, di mana kesucian Allāh Ta’ālā sedang dibicarakan, maka di sana hati manusia harus tergerak sedalam-dalamnya.
Dan, mulailah memanjatkan doa dengan perasaan hati luluh, “Ya Allāh, sucikanlah kami juga dari segala jenis kehidupan duniawi yang kotor. Dan, jadikanlah Ramaḍān ini untuk menciptakan taqwa yang hakiki di dalam kalbu kami.”
Bacalah tahlil “Lā ilāha illa'l-Lāh!” dan panjatkanlah doa dengan penuh yakin bahwa hanya zat Allāh Ta’ālā yang patut disembah.
Jika seseorang memerukan suatu pertolongan, maka hanya Allāh Ta’ālā-lah yang dapat menolongnya.
Dan jika kita memerlukan suatu perlindungan, maka hanya kepada Allāh Ta’ālā kita harus memohon perlindungan.
Sebab, manusia setiap waktu memerlukan perlindungan Allāh Ta’ālā. Oleh karenanya, setiap waktu harus berusaha selalu tunduk di hadapan Tuhan Tercinta.
Sambil berpuasa di dalam bulan Ramaḍān, harus memanjatkan doa ini: “Ya Allāh. Setiap waktu aku berlindung kepada Engkau, maka lindungilah daku!
“Perubahan ruhani yang telah Engkau taqdirkan bagi mereka yang mencari berkat dari ibadah puasa, ya Allāh, limpahkanlah bagian dari berkat-berkat itu kepada kami yang berlanjut sepanjang kehidupan kami.”
Selanjutnya, beliau (Ḥaḍrat Masīḥ Mau’ūd) a.s. bersabda, “Membaca hamdalah, tasbih, dan Tahlil adalah amalan yang dapat menciptakan «tabattalli'l-Lāh», yakni menghindarkan diri dari keinginan-keinginan kesenangan duniawi demi mencari keriḍaan Allāh Ta’ālā dan menciptakan hubungan erat dan setia secara sempurna dengan Allāh Ta’ālā.”
Bersabda lagi, “Ciptakanlah inqitā‘ yakni menghindarkan diri dari kehidupan yang bergelimang dengan kesenangan duniawi kemudian menyibukkan diri dalam beribadah kepada Allāh Ta’ālā.
“Dan pusatkanlah perhatian sepenuhnya untuk ibadah kepada Allāh Ta’ālā. Jika keadaan manusia sudah demikian, maka apa yang telah difirmankan Allāh Ta’ālā tentang maksud dan tujuan puasa itu akan diperoleh hasilnya, yakni orang yang berpuasa itu akan meraih taqwa.”
Jadi, Ramaḍān—yang baru dua hari dimulai ini dan akan berlanjut sampai 29 atau 30 hari—akan memberi faedah kepada kita apabila maksud dan tujuannya itu selalu kita perhatikan sepenuhnya.
Maksud dan tujuan ini sangat besar sekali, untuk meraihnya sangat diperlukan kerja keras.
Sebab, di samping perlu sekali untuk menunaikan hak-hak dan kewajiban puasa, sangat perlu pula untuk memenuhi hak-hak ibadah kepada Allāh Ta’ālā dan hak-hak sesama manusia.
Sebab, mengamalkan kewajiban-kewajiban, itu semua sangat erat hungannya dengan taqwa.
Harus diingat betul tentang cerita seorang teman Kristen yang telah saya jelaskan sebelumnya.
Bahwa pengikut agama-agama lain telah meninggalkan ajaran agama mereka, peraturan agama yang telah ditentukan oleh Allāh Ta’ālā demi meraih keriḍaan-Nya ditinggalkan, mereka mengutamakan tata-cara akhlaq duniawi, dan kewajiban serta intisari puasa yang telah dijelaskan kepada mereka telah mereka tinggalkan.
Puasa yang merupakan sebuah bentuk ibadah dengan maksud dan tujuannya untuk meningkatkan taqwa dan untuk meraih keriḍaan Allāh Ta’ālā juga sudah hilang sirna.
Jika kita layangkan sebuah pandangan yang halus terhadap hal itu, maka nampaklah ia sebagai sebuah syirik (menyekutukan sesuatu dengan Tuhan), yakni meninggalkan perintah Allāh Ta’ālā dan mengutamakan adat-istiadat duniawi demi menghormati pelayanan seorang tuan rumah.
Siapapun yang mengutamakan seseorang daripada zat Allāh Ta’ālā, maka lambat laun perasaan hormat terhadap zat Allāh Ta’ālā hilang sirna dari dalam kalbunya kemudian syirik datang menguasainya.
Allāh Ta’ālā berfirman, puasa ini telah diwajibkan kepada orang-orang sebelum kamu juga, bukan diwajibkan khusus kepada kamu saja. Akan tetapi keadaan iman kaum terdahulu semakin terus-menerus merosot.
Intisari perintah Allāh Ta’ālā mengenai puasa telah mereka lupakan, amalan mereka yang tinggal hanya pamer belaka.
Sebagai pelajaran telah dikemukakan juga kepada orang-orang Muslim bahwa, mereka bukan «memahami intisari puasa, meningkatkan tabattal (hubungan erat dengan Allāh Ta’ālā), menaruh perhatian penuh terhadap hamdalah dan ẓikir kepada Allāh Ta’ālā, [dan] memelihara ṣalāt-ṣalāt mereka», melainkan hanya membanggakan amalan puasa mereka sehingga nilai puasa mereka itu seperti nilai puasa orang-orang agama terdahulu.
Jika puasa tidak didasarkan kepada taqwa maka keadaan Anda akan seperti keadaan orang-orang penganut agama terdahulu sebelum Islam.
Banyak yang menamakan diri mereka orang-orang suci melakukan puasa nafal juga selain dari puasa fardu.
Puasa nafal itu juga mereka bangga-banggakan, padahal pada umumnya ibadah nafal dilakukan secara sembunyi atau secara diam-diam.
Mengenai orang-orang seperti itu, Ḥaḍrat Masīḥ Mau’ūd a.s. pun telah menjelaskannya, yakni apabila datang seorang tamu kepadanya, cepat dia menghidangkan makanan bagi tamunya itu sambil berkata, “Silakan makan! Saya mohon maaf tiak bisa ikut makan [karena] sedang berhalangan.”
Atau apabila bertamu ke rumah orang, ia datang tepat pada waktu orang itu sedang makan, dia menolak diajak makan sambil berkata, “Tidak, tidak, saya tidak bisa makan-minum [karena] ada halangan!”
Yakni, dalam kata-kata yang tersembunyi itu, ada maksud untuk memberi tahu bahwa dia sedang berpuasa nafal.
Dan ada beberapa orang yang secara tidak perlu menyatakan kelebihan diri mereka dengan menceritakan panjangnya puasa yang dia lakukan, di musim panas waktu siang lebih panjang dari pada malam.
Bukan menceritakan panjangnya waktu puasa, namun ia menceritakan puasanya itu yang terlalu berlebihan.
Dan demi menimbulkan rasa belas kasih orang terhadap dirinya, mulailah menceritakan makan sahurnya atau buka puasanya juga tidak banyak hanya sedikit saja.
Memang, secara spontan seseorang tiba-tiba bercakap tentang itu tanpa dibuat-buat. Namun banyak juga yang secara khusus bercakap demikian dengan tujuan agar pentingnya puasa dan kurangnya makan yang dia lakukan, menimbulkan kesan ajaib bagi orang lain yang mendengarnya.
Bahkan banyak juga dari antara orang-orang yang menganggap diri ulama yang mengurangi makan demi menyatakan diri mereka sedih dan prihatin terhadap agama.
Seorang teman non Ahmadi menceritakan sebuah kejadian tentang seseorang yang menganggap dirinya ulama, pandai berpidato, lebih-lebih lagi jika ia berpidato menentang jemaah Aḥmadiyyah, sangat keras dan menakutkan.
Dia pergi ke rumah salah seorang dari muridnya, yakni non Ahmadi itu. Muridnya ini sangat hormat kepadanya dan sebuah sarapan pagi mewah terdiri dari daging-daging ayam panggang dan lauk pauk lainnya lagi telah disediakan baginya.
Pada waktu itu ia telah menghabiskan tiga ekor ayam panggang. Setelah sarapan ia pergi ke sebuah tempat di mana telah dipersiapkan untuk mengadakan pertemuan (jalsah).
Di sana ia mulai berpidato. Demi memberi kesan terhadap para hadirin, dalam pembukaan pidatonya ia berkata, “Demi rasa prihatin terhadap umat, saya sebagai khadim agama, tidak sampai hati makan walaupun sebutir nasi semenjak pagi hari ini!”
Teman non Ahmadi itu dengan keheranan berkata, “Saya sedang hadir duduk paling depan di hadapannya. Ia berkata, dari pagi sebutir nasipun ia tidak makan. Padahal, sebelum datang ke majelis ini, ia telah melahap tiga ekor panggang ayam sampai habis.”
Dari sisi lain, orang ‘alim itu memang berkata betul, bahwa ia belum makan sebutir nasi pun, ia makan hanya tiga ekor panggang ayam saja sampai habis.
Walhasil, banyak umat Islam yang berpuasa atau beribadah bukan karena untuk meraih keriḍaan Allāh Ta’ālā melainkan hanya untuk pamer.
Dan Allāh Ta’ālā berfirman, “Tujuan setiap ibadah kalian harus taqwa. Jika ibadah-ibadah kalian hanya untuk pamer belaka, maka baik para pelaku ibadah terdahulu maupun para pelaku ibadah sekarang juga tidak akan mendapat ganjaran sedikitpun.
Jadi, jika kalian menzahirkan diri kalian berpuasa demi meluahkan kesan terhadap orang-orang duniawi, tentu merekapun akan terkesan oleh amal baik kalian itu, namun Allāh Ta’ālā tidak akan memberikan ganjaran kepada kalian.
Jika kalian menginginkan ganjaran puasa dari Allāh Ta’ālā, maka ganjaran itu tidak akan dapat diperoleh tanpa taqwa.
Dan mengenai taqwa hanya Allāh Ta’ālā yang dapat memberi keputusan, siapa orang yang berjalan di atas landasan taqwa dan siapa yang tidak.
Jadi, jika seorang mukmin berpikir pada taraf demikian dan akan berusaha menunaikan puasa Ramaḍān, maka puasa itu mungkin akan menjadi sarana untuk meraih keriḍaan Tuhan; puasa ini akan menjadi sarana bagi tazkiyah-i- nafs (penyucian jiwa); puasa ini akan menjadi sarana untuk terus melanjutkan amal-amal baik di masa datang; puasa orang itu akan termasuk puasa orang-orang yang telah dijanjikan oleh Ḥaḍrat Rasūlu'l-Lāh saw. bahwa, “Barangsiapa yang berpuasa Ramaḍān karena iman sambil mengoreksi diri pribadinya, maka semua dosa-dosa yang dia lakukan sebelumnya akan diampuni oleh Allāh Ta’ālā.”
Dan Allāh Ta’ālā telah berfirman pula, “Orang yang berpuasa Ramaḍān karena Aku, maka Aku sendiri akan menjadi ganjaran baginya.”
Yakni, orang yang berpuasa demi meraih keriḍaan Allāh Ta’ālā, maka ganjaran baginya hanya Tuhan Yang Mahatahu, Dia akan memberi ganjaran tidak terhitung banyaknya.
Jadi, ibadah puasa seperti itulah yang harus kita lakukan, bukan puasa sebagai adat kebiasaan, bukan puasa dengan hanya menahan lapar dan dahaga dari pagi sampai petang hari, melainkan puasa untuk mencari taqwa, sehingga dapat meraih keriḍaan Allāh Ta’ālā.
Puasa yang bisa menjadi perisai atau pelindung iman kita. Puasa yang dapat mencegah kita dari setiap keburukan dan pembuka jalan bagi setiap kebaikan bagi kita.
Puasa yang bukan hanya membuat lapar, melainkan puasa yang dihiasi dengan zikir Ilahi dan ibadah-ibadah nawafil.
Ḥaḍrat Rasūlu'l-Lāh saw. sangat mementingkan ibadah-ibadah nawafil pada waktu malam hari sepanjang bulan Ramaḍān.
Beliau saw. bersabda, “Barangsiapa yang bangun malam hari sepanjang bulan Ramaḍān untuk menunaikan salat Tahajjud, maka dosa-dosanya diampuni oleh Allāh Ta’ālā.”
Puasa bukan hanya untuk mencegah keburukan-keburukan dan membuka jalan kebaikan, melainkan untuk menyelamatkan diri dari kejahatan duniawi dan membuka jalan-jalan keselamatan juga.
Umpamanya sekarang, telah diakui oleh para dokter dan para ilmuwan bahwa setahun sekali diet atau mengontrol makan dan minum berguna sekali bagi kesehatan manusia.
Itulah salah satu faedah dari puasa bagi kesehatan badan manusia. Maka niat puasa yang dilakukan demi meraih keriḍaan Allāh Ta’ālā itu, dengan sendirinya timbul juga faedahnya bagi kesehatan jasmani manusia.
Selain dari itu, banyak juga faedah yang lainnya. Puasa yang dilakukan demi meraih taqwa, kegiatan Ramaḍān yang dilakukan untuk meraih taqwa, menjadi sarana bagi keindahan lingkungan masyarakat juga, dan menciptakan semangat berkurban satu dengan lainnya di kalangan masyarakat, menciptakan pemikiran untuk memenuhi keperluan orang-orang miskin dan tidak mampu.
Dan hal itu sangat penting sekali sebab uswah hasanah Ḥaḍrat Rasūlu'l-Lāh saw. terbentang di hadapan kita.
Kita dapat menyaksikan melalui sejarah bahwa di dalam bulan Ramaḍān, keikhlasan sedekah Ḥaḍrat Rasūlu'l-Lāh saw. menunjukkan sangat deras sekali laksana angin taufan.
Maka menjadi kewajiban setiap orang mukmin juga untuk mengamalkan sunnah Hadhrat Rasulullah saw itu.
Sesungguhnya, hal itu menjadi sarana bagi menjauhkan kegelisahan dan kecemasan di dalam masyarakat.
Menjadi sarana timbulnya perasaan dan semangat persaudaraan di dalam hati orang mukmin terhadap saudara-saudara mukmin yang lemah dan miskin, yang memenuhi hak-hak puasa dan juga memenuhi hak-hak sesama manusia.
Puasa juga dapat menjadi sarana bagi timbulnya rasa syukur dan cinta-kasih terhadap sesama yang lain.
Apabila puasa dilakukan untuk meraih taqwa dan untuk meraih keriḍaan Allāh Ta’ālā dapat menciptakan kemampuan yang kuat untuk menghadapi setiap kesukaran.
Kadar makan hanya sedikit di waktu sahur dan di waktu berbuka puasa bukan untuk dizahirkan kepada orang lain, melainkan tujuannya agar dengan mengurangi kadar makanan itu timbul konsentrasi untuk mensucikan nafs atau jiwa manusia.
Jadi, manusia yang dalam keraguan, dengan mengurangi kadar makanan takut jasmaninya menjadi lemah, mereka makan sahur sampai kenyang melampaui batas, bagi mereka itu juga menjadi pelajaran, mereka harus menjaga batas makanan.
Dalam kesempatan yang di luar keperluan, Ḥaḍrat Rasūlu'l-Lāh saw. di mana terdapat kemungkinan timbul bahaya kerusuhan atau pertengkaran, kemungkinan timbul perkelahian, memberi nasihat kepada orang-orang berpuasa agar berkata, “Innī ṣaimun! (Aku sedang berpuasa!)”
Di dalam sabda ini, beliau saw. telah menunjukkan jalan untuk meraih taqwa. Di dalam sabda itu terdapat petunjuk untuk bertaqwa.
Untuk menyempurnakan hak-hak ibadah puasa dan untuk meraih taqwa perlu sekali mengendalikan perasaan marah, agar dapat menyelamatkan diri dari pertengkaran demi tujuan puasa menjadi sempurna.
Manusia harus menjaga diri dari perbuatan ghibat agar tujuan berpuasa menjadi sempurna.
Manusia harus menjaga diri dari berkata dusta dan kesaksian palsu, agar tujuan puasa menjadi sempurna.
Jadi, orang berpuasa harus menjaga mulutnya dari perkataan yang tidak benar. Kebiasaan mengendalikan lidah dan menahan dari penggunaannya yang tidak benar selama satu bulan, sangat diperlukan untuk meraih taqwa, dan menjadi sarana untuk menghindarkan diri dari dosa serta kelalaian dalam menjalani kehidupan di masa mendatang, dan menjadi adat kebiasaan yang terus-menerus untuk menghindarkan diri dari segala jenis keburukan, sehingga secara terus-menerus menjadi terbiasa melangkah di atas jalan taqwa.
Dalam kata lain, menciptakan adat kebiasaan seperti itulah maksud utama dari puasa di bulan Ramaḍān ini.
Jika tidak, dalam tempo setahun hanya sebulan saja melakukan amal-amal saleh dan berusaha mematuhi semua perintah Allāh Ta’ālā di dalam bulan Ramaḍān ini, maka selama sebelas bulan lainnya, i.e. kehendak nafsu pribadi, pengaruh duniawi, dan terlibat di dalam keburukan, tidak akan menghasilkan suatu maksud apa pun.
Di dalam bulan Ramaḍān ini, setiap orang harus: mengadakan koreksi terhadap diri pribadinya dan harus mencari intisari puasa dan rahasia bulan Ramaḍān; mencari jalan-jalan untuk meningkatkan mutu taqwa; dan dengan pengalaman-pengalaman itu semua harus berusaha menciptakan perubahan besar di dalam akhlak masing-masing.
Perhatian terhadap pelaksanaan hak-hak sesama manusia dan perhatian terhadap usaha menolong orang-orang miskin harus dilaksanakan secara dawam.
Maka, di dalam bulan Ramaḍān semangat ibadah dan semangat berkurban yang timbul secara khusus harus dijadikan amalan secara tetap sepanjang kehidupan kita, agar kita termasuk kelompok orang-orang yang maju di dalam taqwa.
Di dalam bulan Ramaḍān ini sedapat mungkin kita harus berusaha sepenuh kemampuan untuk mencari qurub dan keriḍaan Allāh Ta’ālā.
Semata-mata iḥsan Allāh Ta’ālā terhadap kita bahwa di dalam Ramaḍān ini, Dia membuka pintu-pintu surga, menutup pintu-pintu neraka bagi kita.
Kita harus berusaha keras di dalam bulan Ramaḍān ini untuk menunaikan ibadah-ibadah kepada Tuhan untuk meraih kesucian jiwa dan melalui pelaksanaan hak-hak sesama manusia untuk memasuki surga yang pintu-pintunya selalu terbuka untuk selama-lamanya.
Bersujudlah di hadapan Allāh Ta’ālā sambil bertobah dan membaca istighfar sebanyak-banyaknya supaya kita dimasukkan ke dalam kelompok orang-orang yang tobatnya menggembirakan Tuhan lebih dari kegembiraan seorang ibu yang telah menemukan kembali anaknya yang hilang.
Semoga Allāh Ta’ālā memberi taufiq kepada kita semua untuk dapat meraih kasih sayang Tuhan.
Dan semoga kita menjadi orang-orang yang membuat Allāh Ta’ālā gembira lebih dari kegembiraan seorang ibu yang telah menemukan kembali anaknya yang hilang.
Akan tetapi, sebagaimana telah berulangkali dijelaskan bahwa, untuk membuat Allāh Ta’ālā gembira, kita harus berusaha meningkatkan mutu ibadah-ibadah, baik yang sifatnya farḍu maupun nafal, sambil berjalan di atas landasan taqwa, dan memenuhi hak-hak sesama manusia.
Semoga Allāh Ta’ālā, semata-mata dengan karunia-Nya, memberi taufiq kepada kita untuk meraih semua perkara itu di dalam bulan Ramaḍān ini. Āmīn…‼[]
Penerjemah: Maulana Hasan Basri/Singapura, 20 Juli 2013
Penyunting ulang: Rahmat Ali/Kebayoran, 24 Juli 2013
Khotbah jumat yang disampaikan dari masjid Baitul Futuh London, Inggris Raya ini adalah tentang Ramaḍān.
Setelah mengucap dua kalimah syahadat dan ta’awuḋ, Ḥuḍūr atba. menilawatkan ‘QS [al-Fātiḥah] 1:1—7’ dan disambung dengan tilawat ‘QS [al-Baqarah] 2:184’.
يٰأيّها الّذين اٰمنوا كتب عليكم الصّيام كما كتب على الّذين من قبلكم لعلّكم تتّقون.
Arabic » “Yā‘ayyuha'l-laẕīna āmanū kutiba ‘alaikumu'ṣ-ṣiyāmu kamā kutiba ’ala'l-laẕīna miŋqobliKum la’allaKum tattaqūn[a].
English » “O ye who believe! Fasting is prescribed for you, as it was prescribed for those before you, so that you may become righteous.
Bahasa Indonesia » “Wahai, orang-orang beriman! Telah diwajibkan atas kamu puasa sebagaimana telah diwajibkan kepada orang-orang sebelum kamu, supaya kamu menjadi orang-orang yang bertaqwa.”
Dengan karunia Allāh Ta’ālā, puasa Ramaḍān telah dimulai di Inggris sejak Kamis (11/7).
Kita sangat besyukur kepada Allāh Ta’ālā bahwa Dia telah memberi taufiq kepada kita semua untuk menunaikan kembali ibadah puasa Ramaḍān.
Pada ayat QS 2:184, Allāh Ta’ālā telah mengingatkan para mukmin kepada pentingnya puasa dan kewajibannya.
Para mukmin telah diingatkan pula bahwa jemaah para nabi yang sudah berlalu pernah diwajibkan berpuasa sebab puasa sangat penting sekali untuk meningkatkan iman dan kemajuan rohani manusia.
Sekarang kita dapat menyaksikan di dalam berbagai Agama apakah puasa mereka itu ‘masih utuh’ seperti di zaman para Nabi mereka atau—bersamaan dengan berlalunya zaman—‘telah berubah’ dari bentuk asalnya.
Namun, di setiap tempat, puasa masih tetap dipertahankan sekalipun dalam keadaan dan bentuk yang lain.
Kita dapat memperoleh keterangan tentang puasa yang diwajibkan pada zaman Ḥaḍrat Nabi Musa a.s. dan juga Hadhrat Daud a.s..
Di kalangan mereka itu masih terdapat pelaksanaan puasa, sekalipun puasa mereka itu hanya menghindari makanan yang dimasak dengan api, keadaan puasa mereka seperti itu.
Di dalam agama Kristen juga terdapat konsep puasa dan sebagian golongan agama Kristen juga melakukan puasa dengan meninggalkan makan daging, sedangkan sayuran boleh dimakan sekehendak hati.
Beberapa hari yang lalu, saya sempat melihat seorang teman Kristen yang sedang berpuasa. Teman itu duduk di samping saya dalam sebuah jamuan makan.
Saya lihat di hadapannya tidak terdapat pinggan berisi makanan sedangkan yang lain sudah siap dengan pinggannya masing-masing berisi makanan.
Ketika saya tanya kepadanya, Anda hendak makan apa? Dia jawab, saya sedang berpuasa. Demi menghormatinya saya pun diam tidak banyak bicara, namun merasa aneh juga, beliau seorang berada, seorang politisi namun beliau mengamalkan ajaran agama juga.
Tidak lama kemudian saya lihat di hadapan beliau sudah tersaji makanan berupa sayur-mayur dan juga nasi.
Saya berkata kepadanya, “Dalam keadaan puasa Anda boleh makan nasi dan sayur-mayur bukan?”
Beliau jawab, “Ya boleh! Sekarang saya akan mulai makan.”
Maka mulailah beliau makan. Kemudian di hadapan kami mulai disediakan berbagai macam makanan di atas talam-talam, di antaranya ada gulai ayam juga dan mulailah kami juga makan.
Tidak lama kemudian saya lihat ada seketul daging dalam pinggan beliau. Tanpa segan saya tanya lagi kepada beliau, “Dalam keadaan puasa, Anda boleh makan daging ayam juga?”
Sambil tertawa beliau jawab, “Ketika saya melihat pelayan-pelayan berulangkali datang di hadapan saya, menghidangkan gulai daging ayam, maka terpikir dalam hati saya, jika pelayan itu menghidangkan daging ayam itu di hadapan saya, maka sedikit banyak saya akan memakannya juga. Oleh sebab itu, sekarang saya sedang memakannya.”
Jadi, begitulah keadaan puasa pengikut agama terdahulu. Semua pada makan, ada daging ayam, lezat rasanya mereka makan.
Ketika dia menyaksikan setiap tamu di sekelilingnya sedang makan, barangkali ada dua orang pelayan sedang menghidangkan makanan, “mungkin salah seorang di antara mereka telah diminta oleh tamu di samping saya itu untuk menghidangkannnya,” atau beliau sendiri dengan akhlak penuh adab telah mengambil daging itu dari dalam talam, kemudian demi menghormati para tetamu di sekelilingnya ia pun mulai memakannya.
Jadi akhlak telah diutamakannya di atas ajaran agama, sebab hukum-hukum agama di dalam buku-buku mereka tidak diterangkan secara jelas.
Akan tetapi penjagaan kitab suci Al-Qur'ān telah dijanjikan oleh Allāh Ta’ālā sendiri dan sampai sekarang terpelihara seutuhnya.
Dan diperintahkan kepada orang-orang Mukmin bahwa puasa tidak hanya diwajibkan terhadap para nabi atau terhadap orang-orang terkemuka saja, melainkan puasa telah diwajibkan terhadap orang-orang yang beriman.
Jika Anda orang-orang yang beriman, maka puasa wajib atas diri Anda. Puasa selama satu bulan wajib atas Anda.
Anda harus berhenti makan-minum dari pagi sampai petang, agar Anda menjadi orang-orang bertaqwa.
Kalian harus berusaha meraih keriḍaan Allāh Ta’ālā dengan menunaikan puasa Ramaḍān ini. Memang, di dalam Bible terdapat perintah terhadap para Hawari (sahabat-sahabat Ḥaḍrat Nabi Isa a.s.) untuk mengamalkan puasa, bukan untuk dilihat orang (riya).
Dengan berpuasa, rohani manusia semakin meningkat. Apabila kerohanian sudah semakin maju, maka berbagai penyakit rohani akan terhindar.
Akan tetapi, di kalangan mereka (kristiani) disebabkan tumbuhnya kepercayaan kaffarah maka roh puasa yang menjadi asas taqwa itu menjadi hilang dan sama sekali punah.
Jadi, jika di dalamnya tidak ada roh taqwa, maka pentingnya keberkatan puasa pun hilang sirna.
Jika berkat-berkatnya tidak ada, maka puasa hanya tinggal nama saja atau puasa untuk mengambil nama saja.
Kemudian, mereka ingat pula kepada sayur-mayur segar atau yang direbus atau ingat kepada daging yang dimasak juga.
Sedangkan keindahan ajaran Islam atau keindahan ajaran Al-Qur‘ān Karīm yang bukan hanya memberitahu ajarannya, kewajibannya, maksud dan tujuannya; bahkan, sebagai ganjarannya, diberitahu juga kabar gembira tentang nikmat-nikmatnya.
Dan untuk mempertahankan agar ajaran Islam tetap hidup, untuk menegakkan amalan-amalan nyatanya, setiap abad Allāh Ta’ālā menurunkan para mujaddid-Nya serta para wali.
Dan mujaddid untuk zaman ini, Allāh Ta’ālā telah mengutus Ḥaḍrat Mirzā Ghulām Aḥmad a.s. sebagai Imām Mahdī-dan-Masīḥ Mau’ūd a.s. yang menyediakan sarana-sarana untuk menghidupkan kembali spirit ajaran-ajaran Islam seperti keadaan aslinya yang sejati bagi umat Islam sendiri dan pula bagi ghair muslim bahkan bagi segenap umat manusia.
Beliau a.s. telah berulang kali memberi nasihat kepada jalan taqwa berasaskan ajaran Al-Qur‘ān Karīm. Beliau telah mengingatkan kita untuk memahami ruh atau intisari puasa.
ḤAḌRAT Imam Mahdi-dan-Masih Mau’ud a.s. bersabda: “Rukun Islam yang ketiga adalah Puasa. Manusia juga banyak yang tidak mengenal hakikat puasa.
“Puasa bukan hanya sekedar menahan lapar dan dahaga. Melainkan puasa mempunyai hakikat dan kesan-kesan yang indah yang dapat diketahui dari pengalaman.
“Merupakan fitrat manusia bahwa semakin mengurangi makan-minum keadaan ruhnya akan semakin suci-bersih dan kemampuan kasyafnya semakin meningkat.
“Allāh Ta’ālā menghendaki agar manusia mengurangi makanan bagi jasmani dan meningkatkan santapan lainnya bagi ruhani.
“Orang berpuasa harus ingat bahwa puasa bukan sekedar menahan lapar dan dahaga. Melainkan ia harus sibuk dengan zikir kepada Allāh Ta’ālā agar ia dapat meraih inqitā‘ dan tabattal yakni fanāfi'l-Lāh dan menjalin hubungan erat dengan Allāh Ta’ālā.
“Jadi maksud dan tujuan dari puasa adalah agar manusia dengan meninggalkan makanan yang hanya memberi kekuatan terhadap badan dan memperoleh makanan jenis lain yang menjadi sumber kepuasan dan ketenangan bagi roh manusia.
“Dan orang yang berpuasa hanya karena Allāh Ta’ālā, bukan sebagai adat kebiasaan, haruslah dia banyak-banyak memuji Allāh Ta’la dengan mengucap «Alḥamdu li'l-Lāh», melafaẕkan tasbih «Subḥāna'l-Lāh», dan melantunkan tahlil yakni «Lā ilāha illa'l-Lāh», sebagai santapan rohani baginya.” (Malfūẓat Jilid IX, hal. 122 – 123)
DALAM nasihat ini, Ḥaḍrat Masīḥ Mau’ūd a.s. bersabda bahwa semakin banyak manusia mengurangi makanan atau menahan lapar semakin banyak kesucian ruhani akan dia peroleh.
Sehingga timbullah pikiran bahwa menahan lapar adalah sarana untuk mensucikan nafs atau jiwa.
Selanjutnya dijelaskan oleh beliau bahwa menahan lapar bukanlah sarana untuk mensucikan nafs dan tidak pula dengan itu maksud puasa dapat terpenuhi.
Hal itu bertentangan dengan firman Allāh Ta’ālā dalam Al-Qur‘ān. Sebab, maksud dan tujuan puasa adalah untuk meraih taqwa.
Sebagaimana beliau telah bersabda, “Jika puasa dilakukan untuk meraih keriḍaan Allāh Ta’ālā’, maka manusia harus melewatkan semua waktunya selama berpuasa untuk berzikir kepada Allāh Ta’ālā.”
Di tempat lain Ḥaḍrat Masīḥ Mau’ūd a.s. bersabda, “Dengan meninggalkan lapar, orang-orang bertapa juga dapat memperoleh kasyaf, tapi hal itu bukan tujuan orang mukmin.
“Akan tetapi tujuan orang Mukmin adalah inqitā‘ dan tabattal yakni memutuskan hubungan dengan urusan duniawi dan mempererat hubungan dengan Allāh Ta’ālā.
“Dan keadaan demikian dapat tercipta melalui ibadah dan melalui zikir Ilahi. Dan ṣalāt adalah sarana yang terbaik untuk itu, yang memberi kesan hidup terhadap ruh manusia dan menjadi sarana untuk mendekatkan diri kepada Allāh Ta’ālā.”
Jadi, puasa yang sesungguhnya adalah dengan mengurangi makan-minum, menjauhkan diri untuk sementara waktu dari barang-barang yang halal sekalipun, demi meraih keriḍaan Allāh Ta’ālā.
Itulah yang disebut taqwa dan menjauhkan diri dari barang-barang seperti itu, tidak melewatkan waktu hanya untuk kegiatan duniawi, melainkan menaruh perhatian penuh terhadap kewajiban ṣalāt dan ẕikir Ilahi.
Jika sebelumnya seseorang sudah terbiasa dengan menjamak atau kadangkala mengqaḍa ṣalātnya, maka khusus pada hari-hari puasa ini, perhatian dia lebih dahulu harus ditujukan terhadap ibadah dan ẕikir Ilahi dari semua pekerjaan yang lain.
Beliau a.s. bersabda, “Pusatkanlah perhatian terhadap memuji Allāh Ta’ālā’ dan apabila kita mengucapkan «Alḥamdu li'l-Lāh (segala puji bagi Allāh)», mulut jangan mengucapkannya hanya sebagai adat kebiasaan saja, melainkan harus dengan penuh rasa kesadaran bahwa pujian itu khusus diucapkan terhadap Rabbi Jalīl, Tuhan Yang Maha Gagahperkasa.”
Kita semata-mata memuji Allāh Ta’ālā Yang kepada-Nyalah kita semua akan kembali dan Yang memberi petunjuk jalan lurus kepada manusia yang sesat.
Jika sepanjang tahun kita tidak merundukkan kepala seperti itu, di hadapan Allāh Ta’ālā, yang merupakan hak-Nya, maka semoga di dalam bulan suci Ramaḍān ini, Dia memberi hidayah kepada kita agar di masa mendatang terhindar dari kesesatan, dan dengan limpahan barkat dari ucapan ḥamd (pujian) kita dapat memperoleh taqwa kepada Allāh Ta’ālā.
Beliau a.s. juga telah memberi bimbingan kepada kita bahwa di waktu kita sibuk dalam memuji-Nya, harus menyadari sepenuhnya bahwa setiap kehormatan ada pada tangan Tuhan.
Maka, di dalam bulan Ramaḍān ini, kita harus berdoa agar Allāh Ta’ālā memberi taufiq untuk melakukan amal-amal saleh yang membawa kita lebih dekat dengan Allāh Ta’ālā dan jangan sampai kita tunduk kepada kehormatan dan kebanggan duniawi.
Sambil memuji Allāh Ta’ālā, kita harus selalu ingat bahwa tumpuan dan harapan kita harus kepada Allāh Ta’ālā, jangan bertumpu kepada suatu kekuatan dunia.
Beliau a.s. bersabda: Di dalam bulan Ramaḍān ini, perhatian kita harus tercurah sepenuhnya terhadap tasbih.
Hanya dengan mengucap “Subḥana'l-Lāh!” saja tidaklah cukup. Melainkan, di mana kesucian Allāh Ta’ālā sedang dibicarakan, maka di sana hati manusia harus tergerak sedalam-dalamnya.
Dan, mulailah memanjatkan doa dengan perasaan hati luluh, “Ya Allāh, sucikanlah kami juga dari segala jenis kehidupan duniawi yang kotor. Dan, jadikanlah Ramaḍān ini untuk menciptakan taqwa yang hakiki di dalam kalbu kami.”
Bacalah tahlil “Lā ilāha illa'l-Lāh!” dan panjatkanlah doa dengan penuh yakin bahwa hanya zat Allāh Ta’ālā yang patut disembah.
Jika seseorang memerukan suatu pertolongan, maka hanya Allāh Ta’ālā-lah yang dapat menolongnya.
Dan jika kita memerlukan suatu perlindungan, maka hanya kepada Allāh Ta’ālā kita harus memohon perlindungan.
Sebab, manusia setiap waktu memerlukan perlindungan Allāh Ta’ālā. Oleh karenanya, setiap waktu harus berusaha selalu tunduk di hadapan Tuhan Tercinta.
Sambil berpuasa di dalam bulan Ramaḍān, harus memanjatkan doa ini: “Ya Allāh. Setiap waktu aku berlindung kepada Engkau, maka lindungilah daku!
“Perubahan ruhani yang telah Engkau taqdirkan bagi mereka yang mencari berkat dari ibadah puasa, ya Allāh, limpahkanlah bagian dari berkat-berkat itu kepada kami yang berlanjut sepanjang kehidupan kami.”
Selanjutnya, beliau (Ḥaḍrat Masīḥ Mau’ūd) a.s. bersabda, “Membaca hamdalah, tasbih, dan Tahlil adalah amalan yang dapat menciptakan «tabattalli'l-Lāh», yakni menghindarkan diri dari keinginan-keinginan kesenangan duniawi demi mencari keriḍaan Allāh Ta’ālā dan menciptakan hubungan erat dan setia secara sempurna dengan Allāh Ta’ālā.”
Bersabda lagi, “Ciptakanlah inqitā‘ yakni menghindarkan diri dari kehidupan yang bergelimang dengan kesenangan duniawi kemudian menyibukkan diri dalam beribadah kepada Allāh Ta’ālā.
“Dan pusatkanlah perhatian sepenuhnya untuk ibadah kepada Allāh Ta’ālā. Jika keadaan manusia sudah demikian, maka apa yang telah difirmankan Allāh Ta’ālā tentang maksud dan tujuan puasa itu akan diperoleh hasilnya, yakni orang yang berpuasa itu akan meraih taqwa.”
Jadi, Ramaḍān—yang baru dua hari dimulai ini dan akan berlanjut sampai 29 atau 30 hari—akan memberi faedah kepada kita apabila maksud dan tujuannya itu selalu kita perhatikan sepenuhnya.
Maksud dan tujuan ini sangat besar sekali, untuk meraihnya sangat diperlukan kerja keras.
Sebab, di samping perlu sekali untuk menunaikan hak-hak dan kewajiban puasa, sangat perlu pula untuk memenuhi hak-hak ibadah kepada Allāh Ta’ālā dan hak-hak sesama manusia.
Sebab, mengamalkan kewajiban-kewajiban, itu semua sangat erat hungannya dengan taqwa.
Harus diingat betul tentang cerita seorang teman Kristen yang telah saya jelaskan sebelumnya.
Bahwa pengikut agama-agama lain telah meninggalkan ajaran agama mereka, peraturan agama yang telah ditentukan oleh Allāh Ta’ālā demi meraih keriḍaan-Nya ditinggalkan, mereka mengutamakan tata-cara akhlaq duniawi, dan kewajiban serta intisari puasa yang telah dijelaskan kepada mereka telah mereka tinggalkan.
Puasa yang merupakan sebuah bentuk ibadah dengan maksud dan tujuannya untuk meningkatkan taqwa dan untuk meraih keriḍaan Allāh Ta’ālā juga sudah hilang sirna.
Jika kita layangkan sebuah pandangan yang halus terhadap hal itu, maka nampaklah ia sebagai sebuah syirik (menyekutukan sesuatu dengan Tuhan), yakni meninggalkan perintah Allāh Ta’ālā dan mengutamakan adat-istiadat duniawi demi menghormati pelayanan seorang tuan rumah.
Siapapun yang mengutamakan seseorang daripada zat Allāh Ta’ālā, maka lambat laun perasaan hormat terhadap zat Allāh Ta’ālā hilang sirna dari dalam kalbunya kemudian syirik datang menguasainya.
Allāh Ta’ālā berfirman, puasa ini telah diwajibkan kepada orang-orang sebelum kamu juga, bukan diwajibkan khusus kepada kamu saja. Akan tetapi keadaan iman kaum terdahulu semakin terus-menerus merosot.
Intisari perintah Allāh Ta’ālā mengenai puasa telah mereka lupakan, amalan mereka yang tinggal hanya pamer belaka.
Sebagai pelajaran telah dikemukakan juga kepada orang-orang Muslim bahwa, mereka bukan «memahami intisari puasa, meningkatkan tabattal (hubungan erat dengan Allāh Ta’ālā), menaruh perhatian penuh terhadap hamdalah dan ẓikir kepada Allāh Ta’ālā, [dan] memelihara ṣalāt-ṣalāt mereka», melainkan hanya membanggakan amalan puasa mereka sehingga nilai puasa mereka itu seperti nilai puasa orang-orang agama terdahulu.
Jika puasa tidak didasarkan kepada taqwa maka keadaan Anda akan seperti keadaan orang-orang penganut agama terdahulu sebelum Islam.
Banyak yang menamakan diri mereka orang-orang suci melakukan puasa nafal juga selain dari puasa fardu.
Puasa nafal itu juga mereka bangga-banggakan, padahal pada umumnya ibadah nafal dilakukan secara sembunyi atau secara diam-diam.
Mengenai orang-orang seperti itu, Ḥaḍrat Masīḥ Mau’ūd a.s. pun telah menjelaskannya, yakni apabila datang seorang tamu kepadanya, cepat dia menghidangkan makanan bagi tamunya itu sambil berkata, “Silakan makan! Saya mohon maaf tiak bisa ikut makan [karena] sedang berhalangan.”
Atau apabila bertamu ke rumah orang, ia datang tepat pada waktu orang itu sedang makan, dia menolak diajak makan sambil berkata, “Tidak, tidak, saya tidak bisa makan-minum [karena] ada halangan!”
Yakni, dalam kata-kata yang tersembunyi itu, ada maksud untuk memberi tahu bahwa dia sedang berpuasa nafal.
Dan ada beberapa orang yang secara tidak perlu menyatakan kelebihan diri mereka dengan menceritakan panjangnya puasa yang dia lakukan, di musim panas waktu siang lebih panjang dari pada malam.
Bukan menceritakan panjangnya waktu puasa, namun ia menceritakan puasanya itu yang terlalu berlebihan.
Dan demi menimbulkan rasa belas kasih orang terhadap dirinya, mulailah menceritakan makan sahurnya atau buka puasanya juga tidak banyak hanya sedikit saja.
Memang, secara spontan seseorang tiba-tiba bercakap tentang itu tanpa dibuat-buat. Namun banyak juga yang secara khusus bercakap demikian dengan tujuan agar pentingnya puasa dan kurangnya makan yang dia lakukan, menimbulkan kesan ajaib bagi orang lain yang mendengarnya.
Bahkan banyak juga dari antara orang-orang yang menganggap diri ulama yang mengurangi makan demi menyatakan diri mereka sedih dan prihatin terhadap agama.
Seorang teman non Ahmadi menceritakan sebuah kejadian tentang seseorang yang menganggap dirinya ulama, pandai berpidato, lebih-lebih lagi jika ia berpidato menentang jemaah Aḥmadiyyah, sangat keras dan menakutkan.
Dia pergi ke rumah salah seorang dari muridnya, yakni non Ahmadi itu. Muridnya ini sangat hormat kepadanya dan sebuah sarapan pagi mewah terdiri dari daging-daging ayam panggang dan lauk pauk lainnya lagi telah disediakan baginya.
Pada waktu itu ia telah menghabiskan tiga ekor ayam panggang. Setelah sarapan ia pergi ke sebuah tempat di mana telah dipersiapkan untuk mengadakan pertemuan (jalsah).
Di sana ia mulai berpidato. Demi memberi kesan terhadap para hadirin, dalam pembukaan pidatonya ia berkata, “Demi rasa prihatin terhadap umat, saya sebagai khadim agama, tidak sampai hati makan walaupun sebutir nasi semenjak pagi hari ini!”
Teman non Ahmadi itu dengan keheranan berkata, “Saya sedang hadir duduk paling depan di hadapannya. Ia berkata, dari pagi sebutir nasipun ia tidak makan. Padahal, sebelum datang ke majelis ini, ia telah melahap tiga ekor panggang ayam sampai habis.”
Dari sisi lain, orang ‘alim itu memang berkata betul, bahwa ia belum makan sebutir nasi pun, ia makan hanya tiga ekor panggang ayam saja sampai habis.
Walhasil, banyak umat Islam yang berpuasa atau beribadah bukan karena untuk meraih keriḍaan Allāh Ta’ālā melainkan hanya untuk pamer.
Dan Allāh Ta’ālā berfirman, “Tujuan setiap ibadah kalian harus taqwa. Jika ibadah-ibadah kalian hanya untuk pamer belaka, maka baik para pelaku ibadah terdahulu maupun para pelaku ibadah sekarang juga tidak akan mendapat ganjaran sedikitpun.
Jadi, jika kalian menzahirkan diri kalian berpuasa demi meluahkan kesan terhadap orang-orang duniawi, tentu merekapun akan terkesan oleh amal baik kalian itu, namun Allāh Ta’ālā tidak akan memberikan ganjaran kepada kalian.
Jika kalian menginginkan ganjaran puasa dari Allāh Ta’ālā, maka ganjaran itu tidak akan dapat diperoleh tanpa taqwa.
Dan mengenai taqwa hanya Allāh Ta’ālā yang dapat memberi keputusan, siapa orang yang berjalan di atas landasan taqwa dan siapa yang tidak.
Jadi, jika seorang mukmin berpikir pada taraf demikian dan akan berusaha menunaikan puasa Ramaḍān, maka puasa itu mungkin akan menjadi sarana untuk meraih keriḍaan Tuhan; puasa ini akan menjadi sarana bagi tazkiyah-i- nafs (penyucian jiwa); puasa ini akan menjadi sarana untuk terus melanjutkan amal-amal baik di masa datang; puasa orang itu akan termasuk puasa orang-orang yang telah dijanjikan oleh Ḥaḍrat Rasūlu'l-Lāh saw. bahwa, “Barangsiapa yang berpuasa Ramaḍān karena iman sambil mengoreksi diri pribadinya, maka semua dosa-dosa yang dia lakukan sebelumnya akan diampuni oleh Allāh Ta’ālā.”
Dan Allāh Ta’ālā telah berfirman pula, “Orang yang berpuasa Ramaḍān karena Aku, maka Aku sendiri akan menjadi ganjaran baginya.”
Yakni, orang yang berpuasa demi meraih keriḍaan Allāh Ta’ālā, maka ganjaran baginya hanya Tuhan Yang Mahatahu, Dia akan memberi ganjaran tidak terhitung banyaknya.
Jadi, ibadah puasa seperti itulah yang harus kita lakukan, bukan puasa sebagai adat kebiasaan, bukan puasa dengan hanya menahan lapar dan dahaga dari pagi sampai petang hari, melainkan puasa untuk mencari taqwa, sehingga dapat meraih keriḍaan Allāh Ta’ālā.
Puasa yang bisa menjadi perisai atau pelindung iman kita. Puasa yang dapat mencegah kita dari setiap keburukan dan pembuka jalan bagi setiap kebaikan bagi kita.
Puasa yang bukan hanya membuat lapar, melainkan puasa yang dihiasi dengan zikir Ilahi dan ibadah-ibadah nawafil.
Ḥaḍrat Rasūlu'l-Lāh saw. sangat mementingkan ibadah-ibadah nawafil pada waktu malam hari sepanjang bulan Ramaḍān.
Beliau saw. bersabda, “Barangsiapa yang bangun malam hari sepanjang bulan Ramaḍān untuk menunaikan salat Tahajjud, maka dosa-dosanya diampuni oleh Allāh Ta’ālā.”
Puasa bukan hanya untuk mencegah keburukan-keburukan dan membuka jalan kebaikan, melainkan untuk menyelamatkan diri dari kejahatan duniawi dan membuka jalan-jalan keselamatan juga.
Umpamanya sekarang, telah diakui oleh para dokter dan para ilmuwan bahwa setahun sekali diet atau mengontrol makan dan minum berguna sekali bagi kesehatan manusia.
Itulah salah satu faedah dari puasa bagi kesehatan badan manusia. Maka niat puasa yang dilakukan demi meraih keriḍaan Allāh Ta’ālā itu, dengan sendirinya timbul juga faedahnya bagi kesehatan jasmani manusia.
Selain dari itu, banyak juga faedah yang lainnya. Puasa yang dilakukan demi meraih taqwa, kegiatan Ramaḍān yang dilakukan untuk meraih taqwa, menjadi sarana bagi keindahan lingkungan masyarakat juga, dan menciptakan semangat berkurban satu dengan lainnya di kalangan masyarakat, menciptakan pemikiran untuk memenuhi keperluan orang-orang miskin dan tidak mampu.
Dan hal itu sangat penting sekali sebab uswah hasanah Ḥaḍrat Rasūlu'l-Lāh saw. terbentang di hadapan kita.
Kita dapat menyaksikan melalui sejarah bahwa di dalam bulan Ramaḍān, keikhlasan sedekah Ḥaḍrat Rasūlu'l-Lāh saw. menunjukkan sangat deras sekali laksana angin taufan.
Maka menjadi kewajiban setiap orang mukmin juga untuk mengamalkan sunnah Hadhrat Rasulullah saw itu.
Sesungguhnya, hal itu menjadi sarana bagi menjauhkan kegelisahan dan kecemasan di dalam masyarakat.
Menjadi sarana timbulnya perasaan dan semangat persaudaraan di dalam hati orang mukmin terhadap saudara-saudara mukmin yang lemah dan miskin, yang memenuhi hak-hak puasa dan juga memenuhi hak-hak sesama manusia.
Puasa juga dapat menjadi sarana bagi timbulnya rasa syukur dan cinta-kasih terhadap sesama yang lain.
Apabila puasa dilakukan untuk meraih taqwa dan untuk meraih keriḍaan Allāh Ta’ālā dapat menciptakan kemampuan yang kuat untuk menghadapi setiap kesukaran.
Kadar makan hanya sedikit di waktu sahur dan di waktu berbuka puasa bukan untuk dizahirkan kepada orang lain, melainkan tujuannya agar dengan mengurangi kadar makanan itu timbul konsentrasi untuk mensucikan nafs atau jiwa manusia.
Jadi, manusia yang dalam keraguan, dengan mengurangi kadar makanan takut jasmaninya menjadi lemah, mereka makan sahur sampai kenyang melampaui batas, bagi mereka itu juga menjadi pelajaran, mereka harus menjaga batas makanan.
Dalam kesempatan yang di luar keperluan, Ḥaḍrat Rasūlu'l-Lāh saw. di mana terdapat kemungkinan timbul bahaya kerusuhan atau pertengkaran, kemungkinan timbul perkelahian, memberi nasihat kepada orang-orang berpuasa agar berkata, “Innī ṣaimun! (Aku sedang berpuasa!)”
Di dalam sabda ini, beliau saw. telah menunjukkan jalan untuk meraih taqwa. Di dalam sabda itu terdapat petunjuk untuk bertaqwa.
Untuk menyempurnakan hak-hak ibadah puasa dan untuk meraih taqwa perlu sekali mengendalikan perasaan marah, agar dapat menyelamatkan diri dari pertengkaran demi tujuan puasa menjadi sempurna.
Manusia harus menjaga diri dari perbuatan ghibat agar tujuan berpuasa menjadi sempurna.
Manusia harus menjaga diri dari berkata dusta dan kesaksian palsu, agar tujuan puasa menjadi sempurna.
Jadi, orang berpuasa harus menjaga mulutnya dari perkataan yang tidak benar. Kebiasaan mengendalikan lidah dan menahan dari penggunaannya yang tidak benar selama satu bulan, sangat diperlukan untuk meraih taqwa, dan menjadi sarana untuk menghindarkan diri dari dosa serta kelalaian dalam menjalani kehidupan di masa mendatang, dan menjadi adat kebiasaan yang terus-menerus untuk menghindarkan diri dari segala jenis keburukan, sehingga secara terus-menerus menjadi terbiasa melangkah di atas jalan taqwa.
Dalam kata lain, menciptakan adat kebiasaan seperti itulah maksud utama dari puasa di bulan Ramaḍān ini.
Jika tidak, dalam tempo setahun hanya sebulan saja melakukan amal-amal saleh dan berusaha mematuhi semua perintah Allāh Ta’ālā di dalam bulan Ramaḍān ini, maka selama sebelas bulan lainnya, i.e. kehendak nafsu pribadi, pengaruh duniawi, dan terlibat di dalam keburukan, tidak akan menghasilkan suatu maksud apa pun.
Di dalam bulan Ramaḍān ini, setiap orang harus: mengadakan koreksi terhadap diri pribadinya dan harus mencari intisari puasa dan rahasia bulan Ramaḍān; mencari jalan-jalan untuk meningkatkan mutu taqwa; dan dengan pengalaman-pengalaman itu semua harus berusaha menciptakan perubahan besar di dalam akhlak masing-masing.
Perhatian terhadap pelaksanaan hak-hak sesama manusia dan perhatian terhadap usaha menolong orang-orang miskin harus dilaksanakan secara dawam.
Maka, di dalam bulan Ramaḍān semangat ibadah dan semangat berkurban yang timbul secara khusus harus dijadikan amalan secara tetap sepanjang kehidupan kita, agar kita termasuk kelompok orang-orang yang maju di dalam taqwa.
Di dalam bulan Ramaḍān ini sedapat mungkin kita harus berusaha sepenuh kemampuan untuk mencari qurub dan keriḍaan Allāh Ta’ālā.
Semata-mata iḥsan Allāh Ta’ālā terhadap kita bahwa di dalam Ramaḍān ini, Dia membuka pintu-pintu surga, menutup pintu-pintu neraka bagi kita.
Kita harus berusaha keras di dalam bulan Ramaḍān ini untuk menunaikan ibadah-ibadah kepada Tuhan untuk meraih kesucian jiwa dan melalui pelaksanaan hak-hak sesama manusia untuk memasuki surga yang pintu-pintunya selalu terbuka untuk selama-lamanya.
Bersujudlah di hadapan Allāh Ta’ālā sambil bertobah dan membaca istighfar sebanyak-banyaknya supaya kita dimasukkan ke dalam kelompok orang-orang yang tobatnya menggembirakan Tuhan lebih dari kegembiraan seorang ibu yang telah menemukan kembali anaknya yang hilang.
Semoga Allāh Ta’ālā memberi taufiq kepada kita semua untuk dapat meraih kasih sayang Tuhan.
Dan semoga kita menjadi orang-orang yang membuat Allāh Ta’ālā gembira lebih dari kegembiraan seorang ibu yang telah menemukan kembali anaknya yang hilang.
Akan tetapi, sebagaimana telah berulangkali dijelaskan bahwa, untuk membuat Allāh Ta’ālā gembira, kita harus berusaha meningkatkan mutu ibadah-ibadah, baik yang sifatnya farḍu maupun nafal, sambil berjalan di atas landasan taqwa, dan memenuhi hak-hak sesama manusia.
Semoga Allāh Ta’ālā, semata-mata dengan karunia-Nya, memberi taufiq kepada kita untuk meraih semua perkara itu di dalam bulan Ramaḍān ini. Āmīn…‼[]
Penerjemah: Maulana Hasan Basri/Singapura, 20 Juli 2013
Penyunting ulang: Rahmat Ali/Kebayoran, 24 Juli 2013
Komentar