Pendiri suci jemaah muslim Aḥmadiyyah Ḥaḍrat Mirzā Ghulām Aḥmad—Imam Mahdi-dan-Masīḥ Mau’ūd a.s. menulis:
“SAYA berusia 34 atau 35 tahun ketika ayah wafat. Dalam sebuah rukya, saya telah diberitahukan mengenai hal ini bahwa ajal beliau sudah dekat. Saat itu beliau berada di Lahore dan sedang bergegas kembali ke Qadian.
“Beliau sedang menderita sakit disentri, tetapi saya tidak mengira bahwa beliau akan wafat keesokan harinya. Nyatanya, pada saat itu sudah ada perbaikan dalam kondisinya dan kelihatannya beliau cukup sehat. Keesokan harinya, kami semua sedang bersama beliau pada siang hari ketika beliau meminta dengan halus agar saya pergi beristirahat karena saat itu bulan Juni dan udara sedang panas sekali.
“Saya beristirahat ke kamar atas dan seorang khaddim memijat kaki saya. Tak lama, saya terlena ringan dan turun wahyu (bahasa Arab):
“‘Kami minta bersaksi langit darimana semua takdir berasal dan Kami minta bersaksi apa yang akan terjadi setelah matahari terbenam.’
“Saya menyadari bahwa yang dimaksud dengan apa yang akan terjadi setelah matahari terbenam adalah wafatnya ayahanda, dimana wahyu ini merupakan ucapan bela sungkawa dari Allāh Yang Maha Kuasa. Betapa agungnya Dia yang menyampaikan ucapan bela sungkawa atas kematian seorang yang selalu menyesali kesia-siaan hidupnya. Kebanyakan manusia akan heran atas tafsir yang saya berikan mengenai wahyu tersebut bahwa Allāh swt. ikut berdukacita bersama saya.
“Namun, perlu diingat bahwa Allāh, terpujilah nama-Nya, kadang memperlakukan seseorang dengan belas kasih dan sebagai seorang sahabat . Kita bisa membaca dalam beberapa ḥadīṡ bahwa Allāh Yang Maha Perkasa juga bisa tertawa. Hal ini merupakan ekspresi yang sejenis.
“Ketika menerima wahyu tersebut yang mengabarkan di muka akan wafatnya ayah saya, terlintas dalam pikiran yang disebabkan oleh sifat kemanusiaan, bahwa beberapa sumber penghasilan yang selama ini ada karena ayahanda, akan menjadi tertutup dan kami sekeluarga mungkin akan menghadapi kesulitan. Saat itu, saya lalu menerima wahyu lagi (bahasa Arab):
“‘Tidakkah Allāh cukup bagi hamba-Nya?’
“Wahyu-wahyu ini memberikan ketenangan batin dan kepuasan kepada saya serta tertanam kuat di dalam hati saya. Saya bersumpah demi Allāh Yang Maha Agung yang di tangan-Nya terletak nyawa saya bahwa Dia telah memenuhi wahyu yang menenteramkan ini dengan cara-cara yang tidak pernah bisa dibayangkan. Dia telah mencukupi saya lebih dari apa yang bisa diberikan seorang ayah kepada puteranya. Aku adalah penerima karunia-Nya yang tidak pernah putus dan tidak terbilang banyaknya.
“Ayahanda saya wafat pada hari yang sama setelah matahari terbenam. Hari ini merupakan hari pertama saya menyaksikan rahmat Ilahi melalui wahyu yang kemudian tidak pernah berhenti mempengaruhi hidup saya selanjutnya. Saya memesan agar kata-kata wahyu itu diukirkan pada sebuah batu permata yang kemudian dibuat menjadi cincin pada jari saya dan selalu saya simpan dengan cermat.
“Hampir empatpuluh tahun kehidupan saya berada di bawah perlindungan ayahanda, dan dengan wafatnya beliau, saya mulai menerima wahyu Ilahi tanpa berkeputusan.”
(Rūḥānī Khazā'in Jilid XIII «Kitābu'l-Bariyyah, Ḍiyā’u'l-Islām Press Qadian, 1898», Additional Nāẓir ‘Išā’at London, 1984, ṣafa 192—195; The Essence of Islam Volume I, “kata pengantar”; penerjemah: Almarhum H. Abdul Qayum Khalid).
Foto pendiri jemaah muslim Ahmadiyah ini dikopi dari arsip Dewan Naskah JAI. |
“Beliau sedang menderita sakit disentri, tetapi saya tidak mengira bahwa beliau akan wafat keesokan harinya. Nyatanya, pada saat itu sudah ada perbaikan dalam kondisinya dan kelihatannya beliau cukup sehat. Keesokan harinya, kami semua sedang bersama beliau pada siang hari ketika beliau meminta dengan halus agar saya pergi beristirahat karena saat itu bulan Juni dan udara sedang panas sekali.
“Saya beristirahat ke kamar atas dan seorang khaddim memijat kaki saya. Tak lama, saya terlena ringan dan turun wahyu (bahasa Arab):
وَ السّمَآءِ وَ الطّارِقِ
«wa’s-samā’i wa'ṭ-ṭāriq»
“Saya menyadari bahwa yang dimaksud dengan apa yang akan terjadi setelah matahari terbenam adalah wafatnya ayahanda, dimana wahyu ini merupakan ucapan bela sungkawa dari Allāh Yang Maha Kuasa. Betapa agungnya Dia yang menyampaikan ucapan bela sungkawa atas kematian seorang yang selalu menyesali kesia-siaan hidupnya. Kebanyakan manusia akan heran atas tafsir yang saya berikan mengenai wahyu tersebut bahwa Allāh swt. ikut berdukacita bersama saya.
“Namun, perlu diingat bahwa Allāh, terpujilah nama-Nya, kadang memperlakukan seseorang dengan belas kasih dan sebagai seorang sahabat . Kita bisa membaca dalam beberapa ḥadīṡ bahwa Allāh Yang Maha Perkasa juga bisa tertawa. Hal ini merupakan ekspresi yang sejenis.
“Ketika menerima wahyu tersebut yang mengabarkan di muka akan wafatnya ayah saya, terlintas dalam pikiran yang disebabkan oleh sifat kemanusiaan, bahwa beberapa sumber penghasilan yang selama ini ada karena ayahanda, akan menjadi tertutup dan kami sekeluarga mungkin akan menghadapi kesulitan. Saat itu, saya lalu menerima wahyu lagi (bahasa Arab):
أَلَيْسَ اللهُ بِكَافٍ عِبْدِهُ
«alaisa'l-Lāhu bikāfin ‘abdah[u]»
“‘Tidakkah Allāh cukup bagi hamba-Nya?’
“Wahyu-wahyu ini memberikan ketenangan batin dan kepuasan kepada saya serta tertanam kuat di dalam hati saya. Saya bersumpah demi Allāh Yang Maha Agung yang di tangan-Nya terletak nyawa saya bahwa Dia telah memenuhi wahyu yang menenteramkan ini dengan cara-cara yang tidak pernah bisa dibayangkan. Dia telah mencukupi saya lebih dari apa yang bisa diberikan seorang ayah kepada puteranya. Aku adalah penerima karunia-Nya yang tidak pernah putus dan tidak terbilang banyaknya.
“Ayahanda saya wafat pada hari yang sama setelah matahari terbenam. Hari ini merupakan hari pertama saya menyaksikan rahmat Ilahi melalui wahyu yang kemudian tidak pernah berhenti mempengaruhi hidup saya selanjutnya. Saya memesan agar kata-kata wahyu itu diukirkan pada sebuah batu permata yang kemudian dibuat menjadi cincin pada jari saya dan selalu saya simpan dengan cermat.
“Hampir empatpuluh tahun kehidupan saya berada di bawah perlindungan ayahanda, dan dengan wafatnya beliau, saya mulai menerima wahyu Ilahi tanpa berkeputusan.”
(Rūḥānī Khazā'in Jilid XIII «Kitābu'l-Bariyyah, Ḍiyā’u'l-Islām Press Qadian, 1898», Additional Nāẓir ‘Išā’at London, 1984, ṣafa 192—195; The Essence of Islam Volume I, “kata pengantar”; penerjemah: Almarhum H. Abdul Qayum Khalid).
Komentar